SEJARAH DHUSUN GIYANTI
GIYANTI WINANGUN
Dhedhep tidhem prabawaning ratri
Sasadara wus manjer kawuryan
Tan kuciwa memanise
Menggep Srinateng ndalu
Siniwaka sanggya pra dasih
Aglar ing cakrawala
Winulat ngelangut
Prandene paksa kebegan
Saking kehing taranggana kang sumiwi
Warata tanpa sela
Sunyi senyap terbawa pengaruh malam
Rembulan telah nampak berpendar
Tak kurang apapun keelokannya
Bagaikan Sang Raja Malam
Dihadap segenap para kawula
Tergelar di cakrawala
Mata menerawang jauh
Namun demikian masih terasa sesak
Sebab banyaknya bintang yang berjajar
Merata rapat tiada berjarak.
Malam kian merambat naik. Cakrawala mulai tertutupi kubah gelap yang terlihat sangat berwibawa. Hening dan senyap, seakan semua telah terbius oleh keanggunan malam. Namun, ada hati yang sedang bergolak, tatapan matanya nanar, letih, dan payah. Sentana Kerajaan Mataram, Tumenggung Mertalaya tak jenak untuk memejamkan mata, meski disandingnya Sang Istri telah tertidur dengan pulas, sembari menggenggam erat tangan kekar Sang Tumenggung. Tak berselang lama, seorang pengawal katumenggungan yang tengah mendapat giliran jaga malam itu, mengetuk pelan pintu Tilamsari, melaporkan bahwa ada tamu yang hendak menghadap. Sontak Tumenggung Mertalaya bangun sembari memindahkan tangan lembut Nyi Tumenggung ke guling disampingnya. Tamu yang sudah lama dinanti, akhirnya datang. Ya, sejak petang, Tumenggung Mertalaya menunggu kedatangan rekan sesama sentana Mataram, yaitu Tumenggung Jalumampang.
“Apa gerangan Kakang Tumenggung memanggil saya larut malam begini?” tanya Tumenggung Jalumampang setelah duduk di bale tamu Dalem Mertalayan.
“Sebentar, apakah Adi Tumenggung datang ke sini sendirian atau dengan pengawal?” Tumenggung Mertalaya balik bertanya.
“Sebagaimana maksud caraka yang Kakang utus tadi sore, bahwa aku harus datang kesini tanpa diketahui oleh siapapun,” jawab Tumenggung Jalumampang tenang.
“Bagus, karena apa yang akan aku utarakan ini sangat penting dan rahasia,” ujar Tumenggung Mertalaya pelan sambil mencondongkan tubuh agar tidak terdengar oleh orang lain. Mata sayu Tumenggung Mertalaya menerawang jauh. Dengan suara berat ia mulai mengawali cerita bagaimana perang saudara di Kerajaan Mataram antara Sri Sunan Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi yang sudah berkecamuk hampir 9 tahun lamanya, telah membuat Mataram semakin lemah, dan rakyat Mataram larut dalam duka nestapa kesengsaraan.
Pada akhirnya perang saudara antara paman dan keponakan itu akan segera memasuki babak akhir dengan adanya perjanjian damai antara keduanya yang diprakarsai oleh Kompeni Belanda. Isi dari perjanjian damai itu adalah bahwa wilayah Kerajaan Mataram akan dibagi dua, sebagian menjadi milik Sri Sunan Pakubuwono III dan sebagian lainnya menjadi milik Pangeran Mangkubumi. Namun, Tumenggung Mertalaya masih memendam syakwasangka bahwa perjanjian ini hanyalah tipu muslihat Kompeni Belanda untuk terus menancapkan kekuasaannya di Bumi Mataram.
“Bukannya aku tidak senang perang akan segera usai, tapi aku kurang sependapat jika perjanjian damai ini melibatkan Kompeni. Aku sangat yakin, ini hanya akal-akalan Kompeni untuk memecah persatuan dan kesatuan rakyat Mataram dengan adanya Palihan Nagari,” keluh Tumenggung Mertalaya dengan nada geram.
“Benar Kakang, aku juga berpikir demikian. Mana mungkin Kompeni Belanda itu dengan serta merta mau mendamaikan Kanjeng Sunan Pakubuwono III dan Kanjeng Pangeran Mangkubumi tanpa maksud tertentu,” Tumenggung Jalumampang menggangguk mengiyakan.
“Tentu Adi Tumenggung masih ingat, awal mula perang saudara ini juga karena ulah Kompeni yang mempermalukan, dan berlaku tidak adil terhadap Pangeran Mangkubumi, hingga Pangeran Mangkubumi pergi dari istana dan menyatakan perang terhadap Mataram. Belum lagi, tindakan Kompeni yang mengasingkan Pangeran Aria Mangkunegara ke Pulau Sri Lanka, sehingga membuat Raden Mas Said, putra Pangeran Aria Mangkunegara juga memberontak melawan Mataram. Sekarang para penjajah itu memakai topeng laksana malaikat yang mau mendamaikan keadaan. Sungguh, aku tidak percaya! Sama sekali!” gigi Tumenggung Mertalaya gemeretak menahan amarah.
“Lantas, apa yang akan Kakang Tumenggung lakukan?” tanya Tumenggung Jalumampang.
“Aku tidak bisa menahan diri untuk diam saja. Aku akan menentang isi perjanjian itu,” jawab Tumenggung Mertalaya mantap.
“Jika Kakang tidak mematuhi isi perjanjian, artinya Kakang tidak mematuhi titah raja. Kakang akan dianggap mbalela, dicap sebagai pemberontak,” Tumenggung Jalumampang mengingatkan.
“Tekadku sudah bulat Adi Tumenggung. Biarlah aku dianggap pengkhianat, daripada hanya memendam pilu melihat Mataram tercabik-cabik,” Tumenggung Mertalaya berkata lirih tetapi jelas, seakan bicara pada dirinya sendiri.
“Baiklah, jika memang itu keputusan Kakang Tumenggung. Jujur, aku iri dengan Kakang, yang bisa dengan tegas menempatkan diri di mana harus berpihak, sedang aku tak bisa berbuat apa-apa terhadap ancaman negeri ini. Aku sangat menghargai keberanian dan pengorbanan Kakang,” mata Tumenggung Jalumampang mulai berkaca-kaca.
“Sudahlah Adi Tumenggung, lakukan apa yang menurutmu baik. Karena jika nanti aku diganjar hukuman atau bahkan diusir dari lingkungan istana, Mataram akan sangat membutuhkan sosok Adi Tumenggung di dalam kemelut ini,” Tumenggung Mertalaya membesarkan hati rekan sejawatnya.
“... artinya kakang tidak mematuhi titah raja, kakang akan dianggap mbalela, dicap sebagai pemberontak,” Tumenggung Jalumampang mengingatkan.
“Semoga aku dan Kakang Tumenggung bisa mengemban tanggung jawab ini. Besok adalah hari penetapan perjanjian damai, aku akan menempatkan orang-orangku di barisan pengawal istana, sehingga jika nanti Kakang mendapat masalah, orang-orangku tidak akan ikut melawan Kakang. Aku mohon pamit Kakang Tumenggung.”
“Terima kasih Adi. Semoga Tuhan selalu menguatkan perjuangan kita. Berhati-hatilah,“ Tumenggung Mertalaya mengantarkan keluar Tumenggung Jalumampang.
Dalem Mertalayan kembali sunyi setelah kedua pejabat Kerajaan Mataram itu mengakhiri pertemuannya. Tumenggung Jalumampang dengan pelan meninggalkan bale tamu, kembali ke kediamannya. Setelah punggung Tumenggung Jalumampang tak terlihat, menghilang ditelan malam, Tumenggung Mertalaya memasuki tempat peribadatan, memohon petunjuk pada Pencipta Alam Semesta. Sang Tumenggung mencoba tetap teguh, meski hati bergelora menyongsong pusaran nasib di esok fajar yang menentukan.
∞∞∞∞
Jantiharjo, 13 Februari 1755. Desa yang terletak di wilayah Karanganyar itu sangat semarak. Tanah lapang luas yang ada di tengah desa dipadati banyak orang. Beberapa adalah pejabat Kerajaan Mataram, tak lupa para prajurit pengawal dengan senjata tombak dan pedang. Penduduk setempat dengan hati was-was berhimpitan duduk bersila di sepanjang tepi tanah lapang untuk menanti titah para pemimpin yang akan menjadi tanda berakhirnya perang saudara. Tak kurang juga sedikitnya 100 pasukan Kompeni Belanda menenteng senapan berbaris di sisi-sisi panggung utama. Di atas panggung utama berjajar 3 kursi yang masing-masing sudah diduduki oleh Sri Sunan Pakubuwono III, Gubernur Direktur Jawa Utara Nicolaas Hartingh, dan Pangeran Mangkubumi. Keheningan dipecahkan oleh suara bendhe yang menggema. Pertanda bahwa perjanjian damai akan segera dibacakan. Semua larut dalam ketakziman. Gubernur Direktur Jawa Utara, Nicolaas Hartingh sebagai perwakilan dari Kompeni Belanda berdiri dan membacakan isi perjanjian damai Palihan Nagari yang disebut Perjanjian Giyanti.
“Berdasarkan Perundingan antara Sri Sunan Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi, dan Gubernur-Direktur Jawa Utara Nicolaas Hartingh, menyatakan bahwa, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Kasunanan Surakarta Hadiningrat diberikan kepada Sri Sunan Pakubuwono III, dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat diberikan kepada Pangeran Mangkubumi yang selanjutnya bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono. Demikian isi perjanjian ini, sebagai amanat untuk dipatuhi oleh seluruh rakyat Mataram,” serentak semua yang hadir menghaturkan sembah sebagai tanda patuh dan menaati isi perjanjian itu.
Teks Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755
“Cukup!!!” tiba-tiba terdengar teriakan dari kerumunan sentana Mataram, seorang berperawakan tegap maju ke tengah arena, menghaturkan sembah kepada Sunan Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi.
“Paman Tumenggung Mertalaya, ada apa ini? Mengapa Paman Tumenggung berteriak seperti itu?” tanya Sri Sunan Pakubuwono III.
“Mohon ampun Kanjeng Sunan dan Kanjeng Pangeran. Hamba tidak bisa menerima isi perjanjian ini,“ jawab Tumenggung Mertalaya.
“Mengapa? Bukankah Yayi Tumenggung sangat mengharapkan perang usai?” timpal Pangeran Mangkubumi keheranan.
“Benar Gusti Pangeran, tapi hamba tidak bisa berdiam diri saja melihat Mataram dicabik-cabik dan nantinya akan diadu domba oleh penjajah culas seperti dia!” tegas Tumenggung Mertalaya seraya menunjuk Nicolaas Hartingh yang mukanya telah merah padam.
“Tutup mulutmu Mertalaya! Perjanjian ini sudah disepakati bersama, dan akulah yang bertanggung jawab terhadap siapapun yang menentangnya. Pasukan! Tangkap pengacau itu!” Nicolaas Hartingh memberi komando kepada pasukan Kompeni yang dengan segera merangsek mengepung Tumenggung Mertalaya.
Prajurit pengawal Mataram tidak sampai hati untuk ikut memburu pemimpinnya. Hanya pasukan Kompeni saja yang menyerang Tumenggung Mertalaya, tapi Tumenggung Mertalaya bukanlah orang ceroboh yang tanpa perhitungan. Ia segera memasang kuda-kuda bersiap menahan gempuran pasukan Kompeni. Sebagai ksatria yang sudah kenyang makan asam garam peperangan, Tumenggung Mertalaya tidak sedikitpun merasa panik. Dengan gerak tubuh yang lincah dan cepat, Tumenggung Mertalaya menghindari puluhan mimis dan peluru yang ditembakkan pasukan Kompeni. Bahkan dengan beberapa gerak menipu disertai loncatan keras, hentakan kaki Sang Tumenggung mendarat telak di dada musuh-musuhnya. Ilmu kanuragan dan kawijayan Tumenggung Mertalaya nyatanya tidak bisa diimbangi oleh para serdadu Belanda, mereka kocar-kacir, salang tunjang rebut ujung.
Namun demi menjaga kewibawaan Sri Sunan Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi, Tumenggung Mertalaya tidak melanjutkan perkelahian itu. Ia segera meninggalkan tanah lapang yang sekarang telah kacau balau akibat jurus-jurus yang dikeluarkannya. Tidak lupa sebelum pergi, Tumenggung Mertalaya menghaturkan sembah untuk yang terakhir kalinya bagi kedua junjungannya itu. Baik Sri Sunan Pakubuwono III maupun Pangeran Mangkubumi hanya bisa termangu. Mereka sangat paham watak Tumenggung Mertalaya yang anti-Kompeni. Kedua penguasa ini pun sangat menaruh hormat pada sentana yang telah banyak berjasa bagi Kerajaan Mataram.
Hari itu Perjanjian Giyanti telah disepakati. Kerajaan Mataram tidak lagi utuh. Negeri yang pernah disegani dan mencapai puncak keemasannya di masa Sultan Agung Hanyakrakusuma ini telah tercabik-cabik. Akibat Palihan Nagari, muncul dua matahari kembar di Bumi Mataram. Sri Sunan Pakubuwono III dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Sri Sultan Hamengkubuwono dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
∞∞∞∞
Setelah berjalan jauh meninggalkan tempat pertarungannya dengan pasukan Kompeni, Tumenggung Mertalaya terus berada dalam incaran Kompeni. Beberapa kali Tumenggung Mertalaya, yang kini dianggap sebagai musuh negara, lolos dari sergapan Kompeni. Tumenggung Mertalaya lalu menanggalkan semua atribut kebangsawanannya. Ia tidak menggunakan pakaian mewah yang sering ia kenakan ketika sedang bertugas. Ia kini berpakaian layaknya rakyat jelata, hanya ditemani seekor kuda yang telah lama menjadi tunggangannya. Masuk-keluar pemukiman penduduk bagaikan pengembara, njajah desa milang kori, untuk lebih menyelami keadaan rakyat Mataram setelah adanya Palihan Nagari. Benar saja, selama menjalani namur kawula, apa yang ia khawatirkan menjadi kenyataan. Akibat Perjanjian Giyanti, rakyat Mataram justru semakin menderita. Mendung bernaung di atas langit Mataram. Duka nestapa merebak ke setiap penjuru negeri. Rakyat terjerat rantai penjajahan yang membelenggu kebebasan. Tak satupun raut wajah riang memancar. Di mana-mana hanya terdengar rintih pilu dan pekik haru yang melengking nyaring. Cengkeraman kuku tajam Kompeni Belanda semakin dalam menghujam, menancap, dan mengoyak kehidupan rakyat. Sang Tumenggngung menatap sedih, bergolak sanubarinya.
“Inilah akibat dari tabiat para pemimpin dan penguasa yang hanya berebut kekuasaan, mendamba kedudukan tertinggi, hingga tidak pernah mempedulikan kehidupan rakyat yang kian sengsara. Apalagi dibumbui oleh hasutan dan tipu muslihat Kompeni Belanda seperti lintah yang tak pernah kenyang menghisap darah rakyat. Oh Gusti, Tuhan Yang Maha Berkehendak, apa yang harus hamba lakukan? Tak kuasa hamba melihat kesusahan rakyat Mataram yang tak kunjung reda,” rintih pilu Tumenggung Mertalaya bergumam dalam hati.
Cengkeraman kuku tajam Kompeni Belanda semakin dalam menghujam, menancap, dan mengoyak kehidupan rakyat.
Sebagai orang yang sudah mumpuni dalam olah rasa kebatinan, Tumenggung Mertalaya segera membersihkan diri, mencari tempat untuk merenung guna meminta petunjuk dari Yang Maha Kuasa agar segera ditunjukkan jalan keluar terbaik bagi rakyat Mataram. Dengan penuh kemantapan dan kekhusyukan, Tumenggung Mertalaya memanjatkan doa ke hadirat Tuhan Semesta Alam. Setelah cukup lama bermunajat, dalam alam bawah sadar Tumenggung Mertalaya, lamat-lamat terdengar suara yang menggema.
“Heh, Mertalaya, ketahuilah, bahwasannya jerat belenggu penjajahan masih akan lama merantai rakyatmu. Namun jika engkau ingin membendung pengaruh jahat para penjajah, pergilah ke arah Barat Daya. Jika engkau sudah melewati dua buah gunung yang berseberangan, carilah pemukiman, lalu tanamkan tatanan baru di sana. Tatanan kehidupan yang selalu ingat dan patuh pada Sang Pencipta, menjunjung budi pekerti luhur serta terus mengupayakan kelestarian adat budaya. Bangkit dan laksanakan tugasmu, wahai Mertalaya.”
Tercekat, kaget, peluh bercucuran, hati berdebar kencang. Mertalaya bangun dari semedinya. Ia telah mendapatkan petunjuk Ilahi. Tanpa membuang waktu, Tumenggung Mertalaya segera memacu kudanya secepat laju angin menuju arah Barat Daya, mencari pemukiman yang sedianya akan ia tanamkan rangkaian tatanan luhur itu. Entah berapa jarak yang sudah ia tempuh. Lelah dan letih tak dihiraukannya. Tekad kuat untuk segera mewujudkan wangsit yang ia terima telah menjadi cambuk pelecut bagi Tumenggung Mertalaya. Tak terasa, derap kuda yang ditunggangi Tumenggung Mertalaya telah memasuki wilayah Kedu sebelah barat.
“Aku telah berdiri di tanah Kedu Bagian Barat. Dua gunung yang dimaksud pastilah Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing ini. Baiklah, akan kuteruskan perjalananku hingga kutemukan pemukiman yang kucari,” Tumenggung Mertalaya berkata pada diri sendiri.
Perjalanan panjang yang ditempuh Tumenggung Mertalaya akhirnya sampai di sebuah pemukiman yang dirasa tepat untuk menanamkan tatanan baru yang luhur. Pada gardu masuk pemukiman tersebut, berdiri dua orang paruh baya yang sedang bercakap-cakap. Ketika melihat orang asing yang mengendarai kuda, keduanya lalu mendekat dan menyapa.
“Permisi Kisanak, sepertinya Kisanak bukan orang sekitar sini. Apakah Kisanak tersesat atau memang berniat mengunjungi desa kami?” tanya orang yang lebih tua.
“Ah saya hanyalah pengembara yang kebetulan lewat. Apakah nama desa ini, Kisanak?” jawab Tumenggung Mertalaya sekaligus bertanya balik.
“Pemukiman ini masih baru dan belum memiliki nama. Kebanyakan penduduk sini adalah para pengungsi yang tidak tahan akibat perlakuan semena-mena penjajah Kompeni,” jawab orang tua tadi.
“Begitu rupanya, saya juga sudah merasakan pedihnya penderitaan yang dibuat oleh para penjajah itu. Jika diperbolehkan, saya akan menetap di desa ini. Bersama berteduh dan berlindung dari kebengisan Kompeni,” pinta Tumenggung Mertalaya.
“Kami selalu menerima dengan tangan terbuka siapapun yang senasib dan sepenanggungan seperti kami, tapi siapakah Kisanak sebenarnya? Melihat perawakan dan wibawa Kisanak, saya yakin Kisanak bukan orang sembarangan,” selidik penduduk yang lebih muda.
Semula Tumenggung Mertalaya mengelak untuk mengaku siapa ia sebenarnya. Namun, setelah terus dicecar pertanyaan oleh kedua orang tersebut, akhirnya Tumenggung Mertalaya berkata terus terang. Dengan runtut Tumenggung Mertalaya menceritakan semuanya. Mulai dari ia menentang isi Perjanjian Giyanti, menjadi buronan negara dan dianggap pemberontak, merasakan kepedihan tatkala menyaksikan penderitaan rakyat, hingga menerima wangsit untuk menata sebuah pemukiman.
“Ah pantas saja burung peliharaan para penduduk sedari pagi selalu berkicau nyaring, tanda bahwa akan ada tamu agung datang. Perkenalkan, saya Ki Monyet, dan ini Ki Mranggi,” orang tua tadi memperkenalkan.
“Nama saya Mranggi. Betapa beruntungnya desa kami jika Ki Tumenggung berkenan tinggal di desa kami yang sederhana ini, dan bersedia menjadi pemimpin para warga. Kami percaya Ki Tumenggung adalah orang yang tepat,” ujar Ki Mranggi memohon.
Tidak berselang lama sejak perkenalan itu, tiga tokoh tersebut segera mengumpulkan para penduduk untuk bersama-sama membangun desa. Baik dalam hal fisik, moral, maupun sosial
“Mungkin sudah menjadi suratan takdir saya bertemu dengan Kisanak berdua dan dibukakan jalan untuk melaksanakan wangsit yang saya terima. Mari Kisanak, kita bersama membangun tatanan luhur di desa ini,” jawab Tumenggung Mertalaya.
Tidak berselang lama sejak perkenalan itu, tiga tokoh tersebut segera mengumpulkan para penduduk untuk bersama-sama membangun desa. Baik dalam hal fisik, moral, maupun sosial. Tumenggung Mertalaya, sebagaimana wangsit yang ia terima, mengajarkan kepada penduduk desa dalam hal keagamaan, budi pekerti, dan seni budaya. Cara penyampaian yang sederhana dan mudah dipahami masyarakat luas, membuat penduduk desa merasa senang dan cepat menerima apa yang disampaikan Tumenggung Mertalaya. Ki Monyet yang mahir dalam bidang pertanian, memberikan pengajaran bagaimana bercocok tanam yang baik, sesuai dengan jenis tanah dan tingkat kesuburan daerah tersebut. Tak ayal, hasil panen melimpah ruah dan memberi dampak kesejahteraan bagi penduduk. Sedangkan Ki Mranggi yang ahli dalam pertukangan dan perundagian,mengajarakan penduduk untuk membuat perabotan kebutuhan sehari-hari dan mendirikan rumah-rumah yang tidak hanya rapi, tetapi juga bersih dan sehat, tanpa merusak atau mencemari lingkungan sekitar.
Berbondong-bondong penduduk ikut menyongsong semilir angin perubahan yang dihembuskan ketiga tokoh berpengaruh tadi. Dengan bahu-membahu, tanpa mengenal lelah, penduduk melaksanakan apa yang diperintahkan. Sehingga cita-cita Tumenggung Mertalaya dalam menjalankan wangsit yang diterimanya akan segera terwujud.
∞∞∞∞
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Kerja keras Tumenggung Mertalaya, Ki Monyet, dan Ki Mranggi serta para penduduk sudah mulai membuahkan hasil. Masyarakat tumbuh dalam suasana keagamaan yang kental, namun tetap melestarikan seni budaya warisan leluhur. Keduanya bisa berjalan beriringan. Dalam hal kesejahteraan masyarakat, hasil bumi yang melimpah ruah telah mampu mengangkat harkat hidup banyak orang, dari yang semula masyarakat terjajah, sekarang sudah mulai mandiri mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Tepat Bulan Muharram atau Asyura (Suro) pada hari Jumat Kliwon, Tumenggung Mertalaya mengumpulkan segenap masyarakat desa untuk menyampaikan suatu wasiat penting yang akan dipatuhi oleh penduduk. setelah semuanya hadir, Tumenggung Mertalaya berdiri di hadapan penduduk. Suasana menjadi sunyi, dengan khidmat penduduk menanti apa yang akan disampaikan Sang Tumenggung.
“Wahai saudara-saudaraku,” suara bergetar Tumengung Mertalaya penuh wibawa. “Apa yang sudah sekian lama kita lakukan dan dambakan, yaitu wujud tatanan luhur yang mampu menyejahterakan masyarakat banyak, serta membendung pengaruh jahat para penjajah telah berhasil kita lakukan. Namun ingatlah wasiatku ini,” Tumenggung Mertalaya menarik nafas berat.
“Dan terakhir, sebagai pengingat bahwa cikal bakal berdirinya pemukiman ini adalah akibat dari Perjanjian Giyanti. Maka pemukiman ini akan kuberi nama DUSUN GIYANTI.....”
“Pertama, selalu tunduk dan patuh kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menjalankan aturan agama sesuai kepercayaan masing-masing. Kedua, hargai dan kasihi sesama makhluk hidup sebagaimana kalian menghargai dan mengasihi diri sendiri, dan yang ketiga, pertahankan serta lestarikan nilai-nilai luhur adat budaya yang adiluhung ini.”
“Sampaikanlah wasiatku ke anak cucumu kelak. Setiap tahun di Bulan Muharram bertepatan pada hari Jumat Kliwon, lakukanlah rangkaian upacara atau Nyadran sebagai wujud syukur terhadap nikmat Tuhan yang sudah kalian terima, dengan ziarah ke makam para leluhur, menyiapkan tenongan berisi hasil bumi, dan helatkan kesenian yang ada di desa ini.”
“Dan terakhir, sebagai pengingat bahwa cikal bakal berdirinya pemukiman ini adalah akibat dari Perjanjian Giyanti. Maka pemukiman ini akan kuberi nama DUSUN GIYANTI.....” Tumenggung Mertalaya menyudahi wasiatnya, disambut sembah takzim para penduduk.
Begitulah Tumenggung Mertalaya yang tanpa mengenal lelah meletakkan dasar-dasar tatanan budi pekerti luhur kepada segenap masyarakat hingga akhir hayatnya. Tumenggung Mertalaya dimakamkan di desa tersebut. Sampai saat ini, sebagaimana wasiat yang telah disampaikan oleh Tumenggung Mertalaya, tiap tahun pada Bulan Muharram, masyarakat Giyanti selalu menyelenggarakan Tradisi Nyadran.
Makam Tumenggung Mertalaya bersama istri, di Dusun Giyanti, Desa Kadipaten, Kecamatan Selomer
REFERENSI
Poerwokoesoemo, Soedarisman. 1985. Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wahyu, HR. 2013. Terbelahnya Singgasana. Yogyakarta: DIVA PRESS.
Wawancara dengan Bapak Dwi Pranyoto, tokoh masyarakat Giyanti, Desa Kadipaten, Kecamatan Selomerto.
www.wikipedia.com
www.google.com